Kamis, 01 Maret 2012

Penyesuaian Diri


Penyesuaian diri
Definisi
Penyesuaian berarti adaptasi: dapat mempertahankan eksistensinya, atau bisa “survive” dan memperoleh kesejahteraan jasmaniah dan rohaniah, dan dapat mengadakan relasi yang memuaskan dengan tuntutan.
Menurut Hurlock (dalam Gunarsa, 2003) memberikan perumusan tentang penyesuaian diri secara lebih umum, yaitu bilamana seseorang mampu menyesuaikan diri terhadap orang lain secara umum ataupun terhadap kelompoknya, dan ia memperlihatkan sikap serta tingkah laku yang menyenangkan berarti ia diterima oleh kelompok atau lingkungannya. Dengan perkataan lain, orang itu mampu menyesuaikan sendiri dengan baik terhadap lingkungannya.
Ali dan Asrori (2005) penyesuaian diri dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang mencakup respon-respon mental dan perilaku yang diperjuangkan individu agar dapat berhasil menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan, frustasi, konflik, serta untuk menghasilkan kualitas keselarasan antara tuntutan dari dalam diri individu dengan tuntutan dunia luar atau lingkungan tempat individu berada.
Aspek-aspek Penyesuaian Diri
Pada dasarnya penyesuaian diri memiliki dua aspek yaitu: penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial. Untuk lebih jelasnya kedua aspek tersebut akan diuraikan sebagai berikut :
1.  Penyesuaian Pribadi
Penyesuaian pribadi adalah kemampuan individu untuk menerima dirinya sendiri sehingga tercapai hubungan yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan sekitarnya. Ia menyadari sepenuhnya siapa dirinya sebenarnya, apa kelebihan dan kekurangannya dan mampu bertindak obyektif sesuai dengan kondisi dirinya tersebut. Keberhasilan penyesuaian pribadi ditandai dengan tidak adanya rasa benci, lari dari kenyataan atau tanggungjawab, dongkol. kecewa,  atau tidak percaya pada kondisi dirinya. Kehidupan kejiwaannya ditandai dengan tidak adanya kegoncangan atau kecemasan yang menyertai rasa bersalah, rasa cemas, rasa tidak puas, rasa kurang dan keluhan terhadap nasib yang dialaminya.
Sebaliknya kegagalan penyesuaian pribadi ditandai dengan keguncangan emosi, kecemasan, ketidakpuasan dan keluhan terhadap nasib yang dialaminya, sebagai akibat adanya gap antara individu dengan tuntutan yang diharapkan oleh lingkungan. Gap inilah yang menjadi sumber terjadinya konflik yang kemudian terwujud dalam rasa takut dan kecemasan, sehingga untuk meredakannya individu harus melakukan penyesuaian diri.

2.  Penyesuaian Sosial  
Setiap iindividu hidup di dalam masyarakat. Di dalam masyarakat tersebut terdapat proses saling  mempengaruhi satu sama lain silih berganti. Dari proses tersebut timbul suatu pola kebudayaan dan tingkah laku sesuai dengan sejumlah aturan, hukum, adat dan nilai-nilai yang mereka patuhi, demi untuk mencapai penyelesaian bagi persoalan-persoalan hidup sehari-hari.  Dalam bidang ilmu psikologi sosial, proses ini dikenal dengan proses penyesuaian sosial. Penyesuaian sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial tempat individu hidup dan berinteraksi dengan orang lain. Hubungan-hubungan tersebut mencakup hubungan dengan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya, keluarga, sekolah, teman atau masyarakat luas secara umum. Dalam hal ini individu dan masyarakat sebenarnya sama-sama memberikan dampak bagi komunitas. Individu menyerap berbagai informasi, budaya dan adat istiadat yang ada, sementara  komunitas (masyarakat) diperkaya oleh eksistensi atau karya yang diberikan oleh sang individu.
Apa yang diserap atau dipelajari individu dalam poroses interaksi dengan masyarakat masih belum cukup untuk menyempurnakan penyesuaian sosial yang memungkinkan individu untuk mencapai penyesuaian pribadi dan sosial dengan cukup baik. Proses berikutnya yang harus dilakukan individu dalam penyesuaian sosial adalah kemauan untuk mematuhi norma-norma dan peraturan sosial kemasyarakatan. Setiap masyarakat biasanya memiliki aturan yang tersusun dengan sejumlah ketentuan dan norma atau nilai-nilai tertentu yang mengatur hubungan individu dengan kelompok.  Dalam proses penyesuaian sosial individu mulai berkenalan dengan kaidah-kaidah dan peraturan-peraturan tersebut lalu mematuhinya sehingga menjadi bagian dari pembentukan jiwa sosial pada dirinya dan menjadi pola tingkah laku kelompok.
Kedua hal tersebut merupakan proses pertumbuhan kemampuan individu dalam rangka penyesuaian sosial untuk menahan dan mengendalikan diri. Pertumbuhan kemampuan ketika mengalami proses penyesuaian sosial, berfungsi seperti pengawas yang mengatur kehidupan sosial dan kejiwaan. Boleh jadi hal inilah yang dikatakan Freud sebagai hati nurani (super ego), yang berusaha mengendalikan kehidupan individu dari segi penerimaan dan kerelaannya terhadap beberapa pola perilaku yang disukai dan diterima oleh masyarakat, serta menolak dan menjauhi hal-hal yang tidak diterima oleh masyarakat.
Pembentukan Penyesuaian Diri
Penyesuaian diri yang baik, yang selalu ingin diraih setiap orang, tidak akan dapat tercapai, kecuali bila kehidupan orang tersebut benar-benar terhindar dari tekanan, kegoncangan dan ketegangan  jiwa yang bermacam-macam, dan orang tersebut mampu untuk menghadapi kesukaran dengan cara objektif serta berpengaruh bagi kehidupannya, serta menikmati kehidupannya dengan stabil, tenang, merasa senang, tertarik untuk bekerja, dan berprestasi.
Pada dasarnya penyesuaian diri melibatkan individu dengan lingkungannya, pada penulisan ini beberapa lingkungan yang dianggap dapat menciptakan penyesuaian diri yang cukup sehat bagi remaja, diantaranya adalah sebagai berikut:
a.  Lingkungan Keluarga
Semua konflik dan tekanan yang ada dapat dihindarkan atau dipecahkan bila individu dibesarkan dalam keluarga dimana terdapat keamanan, cinta, respek, toleransi dan kehangatan. Dengan demikian penyesuaian diri akan menjadi lebih baik bila dalam keluarga individu merasakan bahwa kehidupannya berarti. 
Rasa dekat dengan keluarga adalah salah satu kebutuhan pokok bagi perkembangan jiwa seorang individu. Dalam prakteknya banyak orangtua yang mengetahui hal ini namun mengabaikannya dengan alasan mengejar karir dan mencari penghasilan yang besar demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dan menjamin masa depan anak-anak. Hal ini seringkali ditanggapi negatif oleh anak dengan merasa bahwa dirinya tidak disayangi, diremehkan bahkan dibenci. Bila hal tersebut terjadi berulang-ulang dalam jangka waktu yang cukup panjang (terutama pada masa kanak-kanak) maka akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan individu dalam menyesuaikan diri di kemudian hari. Meskipun bagi remaja hal ini kurang  berpengaruh, karena remaja sudah lebih matang tingkat pemahamannya, namun tidak menutup kemungkinan pada beberapa remaja kondisi tersebut akan membuat dirinya tertekan, cemas dan stres.
Berdasarkan kenyataan  tersebut diatas maka pemenuhan kebutuhan anak akan rasa kekeluargaan harus diperhatikan. Orang tua harus terus berusaha untuk meningkatkan kualitas pengasuhan, pengawasan dan penjagaan pada anaknya; jangan semata-mata menyerahkannya pada pembantu. Jangan sampai semua urusan makan dan pakaian diserahkan pada orang lain karena hal demikian dapat membuat  anak tidak memiliki rasa aman.
Lingkungan keluarga juga merupakan lahan untuk mengembangkan berbagai kemampuan, yang dipelajari melalui permainan, senda gurau, sandiwara dan pengalaman-pengalaman sehari-hari di dalam keluarga. Tidak diragukan lagi bahwa dorongan semangat dan persaingan antara anggota keluarga yang dilakukan secara sehat memiliki pengaruh yang penting dalam perkembangan kejiwaan seorang individu. Oleh sebab itu, orangtua sebaiknya jangan menghadapkan individu pada hal-hal yang tidak dimengerti olehnya atau sesuatu yang sangat sulit untuk dilakukan olehnya, sebab hal tersebut memupuk rasa putus asa pada jiwa individu tersebut.
Dalam keluarga individu juga belajar agar tidak menjadi egois, ia diharapkan dapat berbagi dengan anggota keluarga yang lain. Individu belajar untuk menghargai hak orang lain dan cara penyesuaian diri dengan anggota keluarga, mulai orang tua, kakak, adik, kerabat maupun pembantu. Kemudian dalam lingkungan keluarga individu mempelajari dasar dari cara bergaul dengan orang lain, yang biasanya terjadi melalui pengamatan terhadap tingkah laku dan reaksi orang lain dalam berbagai keadaan. Biasanya yang menjadi acuan adalah tokoh orang tua atau seseorang yang menjadi idolanya. Oleh karena itu, orangtua pun dituntut untuk mampu menunjukkan sikap-sikap atau tindakan-tindkan  yang mendukung hal tersebut.
Dalam hasil interaksi dengan keluarganya individu juga mempelajari sejumlah adat dan kebiasaan dalam makan, minum, berpakaian, cara berjalan, berbicara, duduk dan lain sebagainya. Selain itu dalam keluarga masih banyak hal lain yang sangat berperan dalam proses pembentukan kemampuan penyesuaian diri yang sehat, seperti rasa percaya pada orang lain atau diri sendiri, pengendalian rasa ketakutan, toleransi, kefanatikan, kerjasama, keeratan, kehangatan dan rasa aman karena semua hal tersebut akan berguna bagi masa depannya.
b.  Lingkungan Teman Sebaya  
Begitu pula dalam kehidupan pertemanan, pembentukan hubungan yang erat diantara kawan-kawan semakin penting pada masa remaja dibandingkan masa-masa lainnya. Suatu hal yang sulit bagi remaja menjauh dari temannya, individu mencurahkan kepada teman-temannya apa yang tersimpan di dalam hatinya, dari angan-angan, pemikiran dan perasaan. Ia mengungkapkan kepada mereka secara bebas tentang rencananya, cita-citanya dan dorongan-dorongannya. Dalam semua itu individu menemukan telinga yang mau mendengarkan apa yang dikatakannya dan hati yang terbuka untuk bersatu dengannya.
Dengan demikian pengertian yang diterima dari temanya akan membantu dirinya dalam penerimaan terhadap keadaan dirinya sendiri, ini sangat membantu diri individu dalam memahami pola-pola dan ciri-ciri yang menjadikan dirinya berbeda dari orang lain. Semakin mengerti ia akan dirinya maka individu akan semakin meningkat kebutuhannya untuk berusaha untuk menerima dirinya dan mengetahui kekuatan dan kelemahannya. Dengan demikian ia akan menemukan cara penyesuaian diri yang tepat sessuai dengan potensi yang dimilikinya.
c.  Lingkungan Sekolah  
Sekolah mempunyai tugas yang tidak hanya terbatas pada masalah pengetahuan dan informasi saja, akan tetapi juga mencakup tanggungjawab pendidikan secara luas. Demikian pula dengan guru, tugasnya tidak hanya mengajar, tetapi juga berperan sebagai pendidik yang menjadi pembentuk masa depan, ia adalah langkah pertama dalam pembentukan kehidupan yang menuntut individu untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan.
Pendidikan modern menuntut guru atau pendidik  untuk mengamati perkembangan individu dan mampu menyusun sistem pendidikan sesuai dengan perkembangan tersebut. Dalam pengertian ini berarti proses pendidikan merupakan penciptaan penyesuaian antara individu dengan nilai-nilai yang diharuskan oleh lingkungan menurut kepentingan perkembangan dan spiritual individu. Keberhasilan proses ini sangat bergantung pada cara kerja dan metode yang digunakan oleh pendidik dalam penyesuaian tersebut. Jadi disini peran guru sangat berperan penting dalam pembentukan kemampuan penyesuaian diri individu.
Pendidikan remaja hendaknya tidak didasarkan atas tekanan atau sejumlah bentuk kekerasan dan paksaan, karena pola pendidikan seperti itu hanya akan membawa kepada pertentangan antara orang dewasa dengan anak-anak sekolah. Jika para remaja merasa bahwa mereka disayangi dan diterima sebagai teman dalam proses pendidikan dan pengembangan mereka, maka tidak akan ada kesempatan untuk terjadi pertentangan antar generasiTop of Form.Bottom of Form

d. Lingkungan Masyarakat
Keadaan lingkungan masyarakat dimana individu berada merupakan kondisi yang menentukan proses dan pola-pola penyesuaian diri. Kondisi studi menunjukkan bahwa banyak gejala tingkah laku salah bersumber dari keadaan masyarakat. Pergaulan yang salah di kalangan remaja dapat mempengaruhi pola-pola penyesuaian dirinya.
A.     Penyesuaian Diri Secara Positif
Mereka tergolong mampu melakukan penyesuaian diri secara positif ditandai hal-hal sebagai berikut:
·          Tidak menunjukkan adanya ketegangan emosional.
·          Tidak menunjukkan adanya mekanisme-mekanisme psikologis.
·          Tidak menunjukkan adanya frustasi pribadi.
·          Memiliki pertimbangan rasional dan pengarahan diri.
·          Mampu dalam belajar.
·          Menghargai pengalaman.
·          Bersikap realistik dan objektif.
Dalam melakukan penyesuaian diri secara positif, individu akan melakukannya dalam berbagai bentuk, antara lain:
·          Penyesuaian dengan menghadapi masalah secara langsung.
·          Penyesuaian dengan melakukan eksplorasi (penjelajahan).
·          Penyesuaian dengan trial and error atau coba-coba.
·          Penyesuaian dengan substitusi (mencari pengganti).
·          Penyesuaian diri dengan menggali kemampuan diri.
·          Penyesuaian dengan belajar.
·          Penyesuaian dengan inhibisi dan pengendalian diri.
·          Penyesuaian dengan perencanaan yang cermat.




B.      Penyesuain Diri yang Salah
Kegagalan dalam melakukan penyesuaian diri secara positif, dapat mengakibatkan individu melakukan penyesuaian yang salah. Penyesuaian diri yang salah ditandai dengan berbagai bentuk tingkah laku yang serba salah, tidak terarah, emosional, sikap yang tidak realistik, agresif, dan sebagainya. Ada tiga bentuk reaksi dalam penyesuaian yang salah yaitu: (I) reaksi bertahan, (II) reaksi menyerang, dan (III) reaksi melarikan diri.

1.      Reaksi Bertahan (Defence Reaction)
Individu berusaha untuk mempertahankan dirinya, seolah-olah tidak menghadapi kegagalan. Ia selalu berusaha untuk menunjukkan bahwa dirinya tidak mengalami kegagalan. Bentuk khusus reaksi ini antara lain:
·          Rasionalisasi
·          Represi
·          Proyeksi

2.      Reaksi Menyerang (Aggressive Reaction)
Orang yang mempunyai penyesuaian diri yang salah menunjukkan tingkah laku yang bersifat menyerang untuk menutupi kegagalannya. Ia tidak mau menyadari kegagalannya. Reaksi-reaksinya tampak dalam tingkah laku:
o   Selalu membenarkan diri sendiri
o   Mau berkuasa dalam setiap situasi
o   Mau memiliki segalanya
o   Bersikap senang mengganggu orang lain
o   Menggertak baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan
o   Menunjukkan sikap permusuhan secara terbuka
o   Menunjukkan sikap menyerang dan merusak
o   Keras kepala dalam perbuatannya
o   Bersikap balas dendam
o   Memperkosa hak orang lain
o   Tindakan yang serampangan dan
o   Marah secara sadis

3.      Reaksi melarikan diri ( Escape Reaction )
Dalam reaksi ini orang mempunyai penyesuaian diri yang salah akan melarikan diri dari situasi yang menimbulkan kegagalan, reaksinya tampak dalam tingkah laku sebagai berikut: berfantasi yaitu memasukan keinginan yang tidak tercapai dalam bentuk angan-angan (seolah-olah sudah tercapai}, banyak tidur, minum-minuman keras, bunuh diri, menjadi pecandu ganja, narkotika, dan regresi yaitu kembali kepada awal (misal orang dewasa yang bersikap dan berwatak saperti anak kecil) dan lain-lain.

Kultural dan Agama Sebagai Penentu Penyesuaian Diri
Lingkungan kultural dimana individu berada dan berinteraksi akan menentukan pola-pola penyesuaian dirinya. Contohnya tatacara kehidupan di sekolah, masjid, gereja, dan semacamnya akan mempengaruhi bagaimana anak menempatkan diri dan bergaul dengan masyarakat sekitarnya.
Agama memberikan suasana psikologis tertentu dalam mengurangi konflik, frustasi dan ketegangan lainnya. Agama juga memberikan suasana damai dan tenang bagi anak. Agama merupakan sumber nilai, kepercayaan dan pola-pola tingkah laku yang akan memberikan tuntunan bagi arti, tujuan, dan kestabilan hidup umat manusia. Agama memegang peranan penting sebagai penentu dalam proses penyesuaian diri.









Contoh Kasus
Ada dua orang remaja yang bernama steven dan udin, yang usiannya sama dan berasal dari latar belakang sosio-ekonomis yang sama. Steven seorang remaja yang bahagia, periang, memiliki prestasi sekolah yang bagus, disukai oleh kawan-kawannya, sangat tertarik dengan olah raga dan kegemaran-kegemaran lain, sangat dibanggakan oleh keluarganya, dan ia telah memutuskan apa yang diinginkannya setelah tamat dari Sekolah Menengah dan masuk ke Perguruan Tinggi. Udin justru sebaliknya. Ia seorang yang murung, benci terhadap orang tuanya, iri terhadap saudara-saudara yang lain dalam keluarga, tidak tertarik kepada olah raga atau kegiatan-kegiatan sosial, dan hampir selalu tidak memiliki kawan. Ia sudah dua kali lari dari rumahnya dan prestasinya di sekolah sangat jelek.



Komunikasi Konseling/ Mikro konseling


BAB I
RESUME

Macam-Macam Teknik Bimbingan dan Konseling

Terkadang, ada seseorang yang enjoy dengan satu teknik, dia tidak mau mencoba teknik lain. Mental status quo semacam ini harus dihilangkan. Diperlukan eksperimentasi dan observasi terus-menerus untuk mengembangkan teknik konseling sebagai jawaban terhadap kompleksitas di era modernisasi dan informasi sekarang ini.

A.     Teknik Umum Konseling I
Teknik umum merupakan teknik konseling yang lazim digunakan dalam tahapan-tahapan konseling dan merupakan teknik dasar konseling yang harus dikuasai oleh konselor. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan disampaikan beberapa jenis teknik umum.

1.      Perilaku Attending
Perilaku attending disebut perilaku menghampiri klien. Hal ini mencakup komponen kontakmata, bahasa tubuh, dan bahasa lisan. Perilaku attending yang baik dapat menimbulkan beberapa hal positif, seperti meningkatkan harga diri klien, menciptakan suasana yang aman, dan mempermudah ekspresi perasaan klien dengan bebas.
Contoh perilaku attending, misalnya:
ü  Kepala: melakukan anggukan jika setuju
ü  Ekspresi wajah: tenang, ceria, senyum
ü  Posisi tubuh: agak condong ke arah klien, jarak antara konselor dengan klien agak dekat, duduk akrab berhadapan atau berdampingan
ü  Tangan: variasi gerakan tangan/lengan spontan berubah-ubah, menggunakan tangan sebagai isyarat, menggunakan tangan untuk menekankan ucapan
ü  Mendengarkan: aktif penuh perhatian, menunggu ucapan klien hingga selesai, diam (menanti saat kesempatan bereaksi), perhatian terarah pada lawan bicara.

Contoh perilaku attending yang tidak baik, misalnya:
ü  Kepala: kaku
ü  Muka: kaku, ekspresi melamun, mengalihkan pandangan, tidak melihat saat klien sedang bicara, mata melotot
ü  Posisi tubuh: tegak kaku, bersandar, miring, jarak duduk dengan klien menjauh, duduk kurang akrab dan berpaling
ü  Memutuskan pembicaraan, berbicara terus tanpa ada teknik diam untuk member kesempatan klien berpikir dan berbicara
ü  Perharian: terpecah, mudah buyar oleh gangguan luar



2.      Empati
Empati ialah kemampuan konselor untuk merasakan apa yang dirasakan klien; merasa kan apa yang dirasakan klien; merasa dan berpikir bersama klien dan bukan untuk atau tentang klien. Empati dilakukan sejalan dengan perilaku attending. Tanpa perilaku attending, mustahil terbentuk empati.
Terdapat dua macam empati, yaitu:
a.      Emapti primer, yaitu bentuk empati yang hanya berusaha memahami perasaan, pikiran, dan keinginan klien dengan tujuan agar klien dapat terlibat dan terbuka. Contoh ungkapan empati primer: ”Saya dapat merasakan bagaimana perasaan Anda.” ; “saya dapat memahami pikiran Anda.” ; “Saya mengerti keinginan Anda.”
b.      Empati tingkat tinggi, yaitu empati apabila kepahaman konselor terhadap perasaan, pikiran, keinginan, serta pengalaman klien lebih mendalam dan menyentuh klien, karena konselor ikut dengan perasaan tersebbut. Keterlibatan konselor tersebut membuat klien tersentuh dan terbuka untuk mengemukakan isi hati yang terdalam, berupa perasaan, pikiran, pengalaman, dan termasuk penderitaannya.
Contoh ungkapan empati tingkat tinggi: “Saya dapat merasakan apa yang Anda rasakan, dan saya ikut terluka dengan pengalaman Anda itu.”

3.      Refleksi
Refleksi adalah teknik untuk memantulkan kembali kepada klien tentang perasaan, pikiran, dan pengalaman-pengalaman sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non verbalnya. Terdapat tiga jenis refleksi, yaitu:
a.      Refleksi perasaan, yaitu keterampilan atau teknik untuk dapat memantulkan perasaan klien sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non verbal klien. Contoh: “Tampaknya yang Anda katakana adalah. . . . .”
b.      Refleksi pikiran, yaitu teknik untuk memantulkan ide, pikiran, dan pendapat klien sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non verbal klien. Contoh: “Tampaknya yang Anda katakana. . . . .”
c.       Refleksi pengalaman, yaitu teknik untuk memantulkan pengalaman-pengalaman klien sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non verbal klien. Contoh: “Tampaknya yang Anda katakana suatu. . . . .”

4.      Eksplorasi
Eksplorasi adalah teknik untuk menggali perasaan, pikiran, dan pengalaman klien. Hal ini penting dilakukan karena banyak klien menyimpan rahasia batin, menutup diri, atau tidak mampu mengemukakan pendapatnya. Teknik ini memungkinkan klien untuk bebas berbicara tanpa rasa takut, tertekan, dan terancam. Seperti halnya pada teknik refleksi, dalam teknik eksplorasi ini pun terdapat tiga macam teknik, yaitu:
a.      Eksplorasi perasaan, yaitu teknik untuk dapat menggali perasaan klien yang tersimpan. Contoh: “Bisakah Anda menjelaskan apa perasaan bingung yang dimaksudkan. . . . .”
b.      Eksplorasi pikiran, yaitu teknik untuk menggali ide, pikiran, dan pendapat klien. Contoh: “Saya yakin Anda dapat mejelaskan lebih lanjut ide Anda tentang sekolah sambil bekerja.”
c.       Eksplorasi pengalaman, yaitu keterampilan atau teknik untuk menggali pengalaman-pengalaman klien. Contoh: “Saya terkesan dengan pengalaman yang Anda lalui. Namun, saya ingin memahami lebih jauh tentang pengalaman tersebut dan pengaruhnya terhadap pendidikan Anda.”

5.      Menangkap Pesan (Paraphrasing)
Menangkap pesan (Parahhrasing) adalah teknik untuk menyatakan kembali esensi atau inti ungkapan klien, dengan teliti mendengarkan pesan utama klien, mengungkapkan kalimat yang mudah dan sederhana. Biasanya, ini ditandai dengan kalimat yang mudah dan sederhana. Biasanya, ini ditandai dengan kalimat awal: “adakah” atau “tampaknya”, dan mengamati respons klien terhadap konselor.
Tujuan paraphrasing adalah: (1) untuk mengatakan kembali kepada klien bahawa
konselor bersama dia dan berusaha untuk memahami apa yang dikatakan klien; (2) mengendapkan apa yang dikemukakan klien dalam bentuk ringkasan; (3) member arah wawancara konseling; dan (4) pengecekan kembali presepsi konselor tentang apa yang dikembangkan klien. Contohnya:
Klien          : “Itu suatu pekerjaan yang baik, akan tetapi saya tidak mengambilnya. Saya                        tidak tahu mengapa demikian?”
Konselor    : “Tampaknya Anda masih ragu.”

6.      Pertanyaan Terbuka (Opened Question)
Pertanyaan terbuka yaitu teknik untuk memancing siswa agar mau berbicara mengungkapkan perasaan, pengalaman, dan pemikirannya. Pertanyaan yang diajukan sebaiknya tidak menggunakan kata tanya mengapa atau apa sebabnya. Pertanyaan semacam ini akan menyulitkan klien jika dia tidak tahu alas an atau sebab-sebabnya. Oleh karenanya, lebih baik gunakan kata Tanya apakah, bagaimana, adakah, atau dapatkah. Contoh: “Apakah Anda merasa ada sesuatu yang ingin kita bicarakan?”

7.      Pertanyaan Tertutup (Closed Question)
Dalam konseling tidak selamanya harus menggunakan pertanyaan terbuka. Dalam hal-hal tertentu, dapat pula digunakan pertanyaan tertutup yang harus dijawab dengan kata “ya” atau “tidak”, atau dengan kata-kata singkat. Tujuan pertanyaan tertutup adalah untuk: (1) mengumpulkan informasi; (2) menjernihkan atau memperjelas sesuatu; dan (3) menghentikan pembicaraan klien yang melantur atau menyimpang jauh. Contoh dialog:
Klien          : “Saya berusaha meningkatkan prestasi dengan mengikuti belajar kelompok                        yang selama ini belum pernah saya lakukan.”
Konselor    : “Biasanya Anda menempati peringkat berapa?”
Klien          : “Empat.”
Konselor    : “Sekarang berapa?”
Klien          : “Sebelas.”

8.      Dorongan Minimal (Minimal Encouragement)
Dorongan minimal adalah teknik untuk memberikan suatu dorongan langsung yang singkat terhadap apa yang telah dikemukakan klien. Misalnya, dengan menggunakan ungkapan oh. . ., ya. . ., lalu. . ., terus. . ., atau dan. . . . .
Tujuan dorongan minimal agar klien terus berbicara dan dapt mengarah agar pembicaraan mencapi tujuan. Dorongan ini diberikan pada saat klien akan mengurangi atau menghentikan pembicaraan, atau padat saat konselor ragu atas pembicaraan klien. Contoh dialog:
Klien          : “saya putus asa. . . dan saya. . . nyaris. . . “(klien menghentikan                                                       pembicaraan)
Konselor    : “Ya. . . .”
Klien          : “Nekat bunuh diri.”
Konselor    : “Lalu. . . .”

9.      Interpretasi
Teknik ini yaitu teknik untuk mengulas pemikiran, perasaan, dan pengalaman klien dengan merujuk pada teori-teori, bukan pandangan subjektif konselor. Hal ini bertujuan untuk memberikan rujukan pandangan agar klien mengerti dan berubah melalui pemahaman dari hasil rujukan baru tersebut. Contoh dialog:
Klien          : “Saya pikir dengan berhenti sekolah dan memusatkan perhatian membantu                      orang tua merupakan bakti saya pada keluarga, karena adik-adik saya                                banyak dan mat membutuhkan biaya.”
Konselor    : “Pendidikan tingkat SMA pada masa sekarang adalah mutlak bagi semua                           warga Negara. Terutama hidup di kota besar seperti Anda. Karena                                 tantangan masa depan makin banyak, maka dibutuhkan manusia Indonesia                     yang berkualitas. Membantu orang tua harus, namun mungkin disayangkan                       jika orang seperti Anda yang tergolong cerdas akan meninggalkan SMA.”

10.  Mengarahkan (Directing)
Teknik mengarahkan ini yaitu teknik untuk mengajak dan mengarahkan klien melakukan sesuatu. Misalnya, menyuruh klien untuk bermain peran dengan konselor atau mengkhayalkan sesuatu. Misalnya:
Klien          : “Ayah saya sering marah-marah tanpa sebab. Saya tak dapat lagi menahan                        diri. Akhirnya, terjadi pertentangan sengit.”
Konselor    : “Bisakah Anda mencoba memperlihatkan di depan saya bagaimana sikap                           dan kata-kata Ayah Anda jika memarahi Anda.”


11.  Menyimpulkan Sementara (Summarizing)
Teknik ini yaitu teknik untuk menyimpulkan sementara pembicaraan, sehingga arah pembicaraan semakin jelas. Tujuan menyimpulkan sementara adalah untuk (1) memberikan kesempatan kepada klien untuk mengambil kilas balik dari hal-hal yang telah dibicarakan; (2) menyimpulkan kemajuan hasil pembicaraan secara bertahap; (3) meningkatkan kualitas diskusi; dan (4) mempertajam fokus pada wawancara konseling. Contoh:

Konselor    : “Setelah kita berdiskusi beberapa waktu, alangkah baiknya jika di simpulkan dulu agar semakin jelas hasil pembicaraan kita. Dari materi-materi pembicaraan yang kita sudah sampai pada dua hal. Pertama, tekad Anda untuk bekerja sambil kuliah makin jelas. Kedua, namun masih ada hambatan yang akan hadapi, yaitu sikap orang tua Anda yang menginginkan Anda segera menyelesaikan studi dan waktu bekerja yang penuh sebagaimana tuntutan dari perusahaan yang akan Anda masuki.”1


























 

1 http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/15/teknik-umum-konseling/
B.      Teknik Umum Konseling II

1.      Memimpin (Leading)
Leading yaitu teknik untuk mengarahkan pembicaraan dalam wawancara konseling sehingga tujuan konseling tercapai. Contoh dialog:
Klien          : “Saya mungkin berpikir juga tentang masalah hubungan dengan pacar. Tapi,                     bagaimana, ya?”
Konselor    : “Sampai sini, kepedulian Anda tertuju pada kuliah sambil bekerja. Mungkin                       Anda tinggal merinci kepedulian itu. Mengenai pacaran apakah termasuk                          dalam kerangka kepedulian Anda juga?”

2.      Fokus
       Fokus yaitu teknik untuk membantu klien memusatkan perhatian pada pokok pembicaraan. Pada umumnya, dalam wawancara konseling, klien akan mengungkapkan sejumlah permasalahan yang sedang dihadapinya. Oleh karena itu, konselor harus membantu klien agar dia dapt menentukan apa yang fokus dari masalah tersebut. Misalnya, dengan mengatakan: “Apakah tidak sebaiknya jika pokok pembicaraan kita tertuju dulu soal hubungan Anda dengan orang tua yang kurang harmonis.”
Ada beberapa yang dapat dilakukan dalam teknik fokus ini, di antaranya:
a.      fokus pada diri klien. Contoh: “Tanti, Anda tidak yakin apa yang akan Anda lakukan.”
b.      Fokus pada orang lain. Contoh: “Roni telah membuat kamu menderita, Terangkanlah tentang dia dan apa yang telah dilakukannya?”
c.       Fokus pada topik. Contoh: “Pengguguran kandungan? Kamu memikirkan aborsi? Pikirkanlah masak-masak dengan berbagai pertimbangan.”
d.      Fokus mengenai budaya. Contoh: “Mungkin budaya menyerah dan mengalah pada laki-laki harus diatasi sendiri oleh kaum wanita. Wanita tak boleh menjadi objek laki-laki.”

3.      Konfrontasi
Konfrontasi yaitu teknik yang menantang klien untuk melihat adanya inkonsisten antara perkataan dengan perbuatan atau bahasa badan, ide awal dengan ide berikutnya, senyum dengan kepedihan, dan sebagainya. Tujuannya adalah (1) mendorong klien mengadakan penelitian diri secara jujur; (2) meningkatkan potensi klien; (3) membawa klien kepada kesadaran adanya discrepancy; konflik, atau kontradiksi dalam dirinya.
Penggunaan teknik ini hendaknya dilakukan secara hati-hati, yaitu dengan (1) memberi komentar khusus terhadap klien yang tidak konsisten dengan cara dan waktu yang tepat; (2) tidak menilai apalagi menyalahkan; serta (3) dilakukan dengan perilaku attending dan empati. Contoh dialog:
Klien          : “Saya baik-baik saja.” (suara rendah, wajah murung, posisi tubuh gelisah)
Konselor    : “Anda mengatakan baik-baik saja, tapi kelihatannya ada yang tidak beres.          
                     Saya melihat ada perbedaan antara ucapan dengan kenyataan diri.”

4.      Menjernihkan (Clarifying)
       Clarifying yaitu teknik untuk menjernihkan ucapan-ucapan klien yang samar-samar, kurang jelas, dan agak meragukan. Tujuannya adalah (1) mengundang klien untuk menyatakan pesannya dengan jelas, dengan ungkapan kata-kata yang tegas, dan dengan alasan-alasan yang logis; (2) agar klien menjelaskan, mengulang, dan mengilustrasikan perasaannya. Contoh dialog:
Klien          : “Perubahan yang terjadi di keluarga saya membuat saya bingung. Saya tidak                    mengerti siapa yang menjadi pemimpin di rumah itu.”
Konselor    : “Bisakah Anda menjelaskan persoalan pokoknya? Misalnya peran ayah, ibu,                      atau saudara-saudara Anda.”

5.      Memudahkan (Facilitating)
       Facilitating yaitu teknik untuk membuka komunikasi agar klien dengan mudah berbicara dengan konselor dan menyatakan perasaan, pikiran, serta pengalamannya secara bebas. Contohnya dengan perkataan: “Saya yakni Anda akan berbicara apa adanya, karena saya akan mendengarkan dengan sebaik-baiknya.”

6.      Diam
       Teknik diam dilakukan dengan cara attending, paling lama 5-10 detik. Komunikasi yang terjadi dalam bentuj perilaku non verbal. Tujuannya adalah (1) menanti klien sedang berpiki; (2) sebagai protes jika klien ngomong berbelit-belit; serta (3) menunjang perilaku attending dan empati, sehingga klien bebas bicara. Contoh dialog:
Klien          : “Saya tidak senang dengan perilaku guru itu.”
Konselor    : “....” (diam)
Klien          : “Saya.... harus bagaimana..., Saya.... tidak tahu....”
Konselor    : “....” (diam)

7.      Mengambil Inisiatif
       Teknik ini dilakukan manakala klien kurang bersemangat untuk berbicara, sering diam, dan kurang partisipatif. Konselor mengajak klien untuk berinisiatif dalam menuntaskan diskusi. Teknik ini bertujuan untuk: (1) mengambil inisiatif jika klien kurang semangat; (2) untuk mengambil keputusan jika klien lambat berpikir; atau (3) untuk meluruskan jika klien kehilangan arah pembicaraan. Misalnya, dengan mengatakan: “Baiklah, saya pikir Anda mempunyai satu keputusan namun belum keluar. Coba Anda renungkan kembali.”

8.      Memberi Nasihat
       Pemberian nasihat sebaiknya dilakukan jika klien memintanya. Walaupun demikian, konselor tetap harus mempertimbangkannya apakah pantas untuk memberi nasihat atau tidak. Sebab, dalam memberi nasihat, tetap dijaga agar tujuan konseling, yakni kemandirian klien, harus tetap tercapai. Contoh respon konselor terhadap permintaan klien: “Apakah dalam seperti ini saya pantas untuk memberi nasihat pada Anda? Sebab, dalam hal seperti ini, saya yakin Anda lebih mengetahuinya dari pada saya.”

9.      Pemberian Informasi
       Sama halnya dengan nasihat, jika konselor tidak memiliki informasi, sebaiknya dengan jujur katakan bahwa dia mengetahui hal itu. Kalupun konselor mengetahuinya, sebaiknya tetap diupayakan agar klien mengusahakannya. Misalnya, dengan mengatakan: mengenai beberapa biaya masuk ke Universitas Pendidikan Indonesia, saya sarankan Anda bisa langsung bertanya ke pihak UPI atau Anda berkunjung ke situs www.upi.com di internet.”

10.  Merencanakan
       Teknik ini digunakan menjelang akhir sesi konseling untuk membantu agar klien dapat membuat rencana tindakan (action), perbuatan yang produktif untuk kemajuan klien. Misalnya, dengan berkats, “Nah, apakah tidak lebih baik jika Anda mulai menyusun rencana yang baik dengan berpedoman pada hasil pembicaraan kita sejak tadi.”

11.  Meyimpulkan
       Teknik ini digunakan untuk menyimpulkan hasil pembicaraan yang menyangkut (1) bagaimana keadaan perasaan klien saat ini, terutama mengenai kecemasan; (2) memantapkan rencana klien; (3) pemahaman baru klien; dan (4) pokok-pokok yang akan dibicarakan selanjutnya pada sesi berikutnya, jika dipandang masih perlu dilakukan konseling lanjutan.2













BAB II
ANALISA

Perilaku Attending:

1.      Menurut buku (Tohirin, 2007: 327) Attending merupakan upaya konselor menghampiri klien yang diwujudkan dalam bentuk perilaku seperti kontak mata, bahasa tubuh, dan bahasa lisan. Perilaku yang baik akan dapat (1) meningkatkan harga diri klien, (2) menciptakan suasana yang aman dan akrab, (3) mempermudahkan ekspresi perasaan klien dengan bebas.
2.      Menurut buku (Agus Priyanto, 2009: 92) Anttending merupakan suatu sikap berupa pemberian perhatian kepada klien. Keterampilan ini sangat memerlukan pertimbangan kultural (budaya), norma-norma, dan makna tentang pandangan mata, jarak duduk antara konselor dengan klien. Setiap daerah mempunyai penilaian yang berbeda-beda mengenai kontak mata, di tempat tertentu kontak mata diperbolehkan, tetapi di tempat lain dianggap melanggar norma-norma. Jarak duduk baik dan memenuhi norma antara konselor dengan klien yaitu ± 1 meter.
3.      Menurut buku (Fenti Hikmawat, 2010: 83) Attending merupakan cara bagaimana konselor melakukan tindakan agar klien merasa diterima dalam proses konseling. Dalam teknik penerimaan, ada tiga unsur yaitu (1) ekspresi air muka, (2) tekanan suara, dan (3) jarak dan perawatan.
4.      Menurut buku (Abu Bakar Baraja, 2007: 73) Attending merupakan suatu awal yang sangat memegang peranan penting untuk jalannya konseling. Oleh karena itu menyambut kedatangan klien sangat diutamakan, dalam menyambut kedatangan klien, konselor dapat memberi salam atau menjawab salam, dengan disertai menyebut nama klien jika sudah mengenalnya, jika belum dan memberikan isyarat untuk menanyakan namanya, dan mempersilakan duduk (Bahasa Verbal) dan segera membuka pintu ruang konseling, jabatan tangan, senyum dengan ceria, mendampingkan klien pada tempat duduk yang lebih baik, duduk sesudah kliennya duduk (Bahasa Non-Verbal).
5.      Menurut buku (Enjang, 2009: 138) Attending merupakan suatu proses awal dimananya terjadi konseling dengan klien tersebut dengan memberikan sikap seperti verbal ataupun non-verbal. Dengan adanya sikap tersebut klien akan merasa bersikap positif keepada konselor serta menjadi nyaman dalam melakukan konseling.

Empati:

1.      Menurut buku (Tohirin, 2007: 329) Empati merupakan kemampuan konselor untuk merasakan apa yang dirasakan oleh klien, merasa dan berpikir bersama klien dan bukan untuk atau tentang klien. Empati dilakukan bersamaan dengan attending, karena tanpa attending tidak akan ada empati. Empati ada dua macam, (1) primary empathy adalah apabila konselor hanya memahami perasaan, pikiran, keinginan, dan pengalaman klien dengan tujuan agar klien terlibat pembicaraan dan terbuka. (2) advanced accurete empathy), adalah apabila kepahaman konselor terhadap perasaan, pikiran, keinginan, dan pengalaman klien lebih mendalam dan menyentuh klien karena konselor iktu dengan perasaan tersebut.

Refleksi:

1.      Menurut buku (Fenti Hikmawati, 2010: 82) Refleksi perasaan merupakan suatu usaha konselor untuk menyatakan dalam bentuk kata-kata yang segar dan sikap yang esensial (perlu). Manfaat refleksi perasaan dalam proses konseling: (1) membantu individu untuk merasa dipahami secara mendalam, (2) klien merasa bahwa perasaan menyebabkan tingkah laku, (3) memusatkan evaluasi pada klien, (4) memberi kekuatan untuk memilih, (5) memperjelas cara berpikir klien, (5) menguji kedalaman motif-motif klien.
2.      Menurut buku (Enjang, 2009: 147) Refleksi perasaan atau reflection of feeling yaitu memantulkan kembali perasaan tentang kejadian atau pengalaman yang diungkapkannya secara verbal dan non-verbal kepada klien dengan jelas dan eksplisit.
3.      Menurut buku (Tohirin, 2007: 330) Refleksi perasaan juga merupakan teknik penengah yang bermanfaat untuk digunakan setelah hubungan permulaan (tahap awal konseling) dilakukan dan sebelum pemberian informasi serta tahap interpretasi dimulai. Refleksi perasaan bisa berwujud positif, negatif, dan ambivalen.
4.      Menurut buku (Agus Priyanto, 2009: 97) Refleksi perasaan harus didasari oleh seorang konselor tersebut untuk mengenal dan merespons terhadap perasaan klien dalam menyampaikan permasalahan yang klien miliki.
5.      Menurut buku (Abu Bakar Baraja, 2007: 79) Refleksi perasaan penjelasan yang disampaikan konselor untuk mengetahui apakah konselor dengan pengungkapan tersebut, telah menangkap dengan tepat isi dan bobot perasaan yang secara implisit, pesan verbal maupun non-verbal yang telah diungkapkan oleh klien sendiri.

Eksplorasi

1.      Menurut buku (Abu Bakar Baraja, 2007: 78) Eksplorasi pikiran yaitu kemampuan dari konselor itu sendiri dalam mengungkapkan pertanyaan, untuk menggali atau menceritakan peristiwa yang susah untuk diutarakan di dalam hati klien itu sendiri.
2.      Menurut buku (Tohirin, 2007: 333) Eksplorasi merupakan keterampilan konselor untuk menggali perasaan, pengalaman, dan pikiran klien. Teknik ini dalam konseling sangat penting karena umumnya klien tidak mau terus terang (tertutup), menyimpan rahasia batin, menutup diri atau tidak mampu mengemukakannya secara terus terang. Eksplorasi ada tiga macam: (1) eksplorasi perasaan; (2) eksplorasi pikiran; dan (3) eksplorasi pengalaman.

3.      Menurut buku (Agus Priyanto, 2009: 97) Eksplorasi Pengalaman merupakan fedback hasil pengamatan yang luas dari konselor. Pemantulan ini tidak hanya verbalisasi perasaan-perasaan tetapi juga pengamatan terhadap peranan yang terkandung dalam gerakan non-verbal klien.
Menangkap Pesan (Paraphrasing)

1.      Menurut buku (Tohirin, 2007: 334)  Paraphrasing yaitu mengemukakan pikiran, ide, perasaan, pengalaman secara berbelit-belit dan tidak terarah sehingga intinya sulit dipahami. Untuk dapat melakukan paraphrasing yang baik, konselor harus: (1) menggunakan kata-kata yang mudah dan sederhana, (2) dengan teliti mendengarkan pesan utama pembicaraan klien, (3) nyatakan kembali dengan ringkas, (4) amati respons klien terhadap konselor.

Interpretasi

1.      Menurut buku (Enjang, 2009: 151) Teknik Interpretasi menggali arti atau makna dari kata-kata atau perbuatannya, konselor memperjelas pikiran atau perasaan yang telah terungkap secara implisit kepada klien, kalau presepsi konselor tepat, maka klien akan membenarkannya.
2.      Menurut buku (Tohirin, 2007: 336) Interpretasi merupakan usaha konselor mengulas pikiran, perasaan, dan perilaku atau pengalaman klien berdasarkan atas teori-teori tertentu. Tujuan utama teknik ini adalah untuk memberikan rujukan, pandangan atau tingkah laku klien, agar klien mengerti dan berubah melalui pehaman dari hasil rujukan baru.
3.      Menurut buku (Fenti, 2010: 90) Interpretasi yaitu konselor memperkenalkan konsep-konsep, hubungan, dan pertalian baru yang berakar dalam pengalaman klien.
4.      Menurut buku (Agus Priyanto, 2009: 100) Interpretasi ialah suatu proses atau kegiatan menjelaskan arti mengenai peristiwa-peristiwa kepada klien, sehingga klien mempunyai kemampuan melihat permasalahannya dengan cara atau metode yang baru.

Mengarahkan (Directing)

1.      Menurut buku (Abu Bakar Baraja, 2007: 84) Mengarahkan merupakan bentuk teknik konseling dalam wawancara yang sangat berperan untuk tercapainya tujuan konseling. Dalam mengarahkan konselor dapat berbentuk pertanyaan, yang disampaikan secara langsung dan jelas pada sasarannya.
2.      Menurut buku (Tohirin, 2007: 8) Seorang konselor mengarahkan klien dengan menyuruh klien memerankan sesuatu (bermain peran) atau mengkhayalkan sesuatu.



Menyimpulkan Sementara (Summarizing)

1.      Menurut buku (Tohirin, 2007: 337) Tujuan utama menyimpulkan adalah (1) memberikan kesempatan kepada klien untuk mengambil kilas balik (feed back) dari hal-hal yang telah dibicarakan bersama konselor, (2) untuk menyimpulkan kemajuan hasil pembicaraan secara bertahap, (3) untuk meningkatkan kualitas diskusi, (4) mempertajam atau memperjelas fokus arah wawancara konseling.
2.      Menurut buku (Enjang, 2009: 148) Seorang konselor menyimpulkan sementara secara singkat  dan dalam garis besar, konselor merumuskan apa yang telah dikatakan mengenai bagian esensi konseling.































BAB III

A.     Kelebihan Buku:
ü  Mudah dipahami dan dimengerti
ü  Dirinci dengan sedetail mungkin
ü  Menggunakan bahasa sehari-hari dan
ü  Tidak berbelit-belit atau bertele-tele dalam menggunakan kalimat

B.      Kekurangan Buku:
ü  Sama seperti dengan buku-buku yang lain, dimana ada teknik yang kurang tercantum atau tertulis dibuku ini.





















Latar Belakang

            Konseling, sebagai tempat penyuluhan dan bimbingan anak didik, menjadi momentum kebangkitan pendidikan dengan tujuan ganda, yakni membakar motivasi dan mencegah devisi. Peran kepala sekolah dalam menggerakkan vitalitas konseling sangat penting. Karena, sebagai top leader, ia mempunyai pengaruh besar dalam mendinamisir potensi konseling menjadi sebuah lembaga yang beribawa di hadapan siswa, guru, dan elemen pendidikan yang lain.
            Sosialisasi dan pelatihan konseling secara intens perlu dilakukan agar pemahaman terhadap konseling bersifat komprehensif dan holistik, tidak parsial. Dari sini, akan timbul kesadaran bahwa yang bertugas melakukan konseling kepada anak didik bukan hanya guru BK (bimbingan konseling), tapi semua guru mempunyai tugas yang sama.
            Sehingga tidak hanya meresume buku ini saja, tetapi saya mempelajari dan memahami teknik-teknik konseling yang ada di buku ini, dan nantinya akan saya terapkan sebagai konselor karena mempunyai berbagai macam-macam teknik yang ada dan akan memudahkan saya dalam melakukan konseling karena lebih efisien dan tidak bertele-tele.

















Penutup
           
            Bimbingan dan konseling di sekolah, selain meminimalisir angka kenalan murid, juga mempunyai peran vital dalam meningkatkan kualitas anak didik. Fungsi ofensif dan defensif sekaligus ini tidak lepas dari kualifikasi konselor yang multifungsi. Seorang konselor adalah seorang yang hampir mirip dengan seorang psikolog yang pandai menyelami dunia anak secara mendalam. Ia cepat mengidentifikasi, memetakan, dan menemukan faktor penyebab masalah, lalu menyusun formula untuk menanganinya dengan langkah dan solusi yang cerdas, efisien, dan aplikatif.























Daftar Pustaka

Ma’mur, J. (2010) Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jogjakarta: DIVA Press.
Baraja, A. (2007) Psikologi Konseling dan Teknik Konseling. Jakarta: Studia Press.
Enjang (2009) Komunikasi Konseling. Bandung: Nuansa.
Priyanto, A. (2009) Komunikasi dan Konseling Kebidanan untuk Perawat dan Bidan. Jakarta: Salemba Medika.
Tohirin (2007) Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah Berbasis Integrasi. Jakarta: Rajawali Pers.
Himawati, F. (2010) Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rajawali Pers.